Pakkacaping Mandar Digempur Zaman
Pakkacaping Mandar, nasib passayang-sayang masih lebih
baik dari tradisi lokal Mandar yang satu ini, ia harus bertarung dengan
kerasnya persaingan dunia hiburan, apalagi jika diduelkan dengan musik
urban. Namun didalam dunia musik tradisional ia ternyata masih
dapat bertahan, dan dilestarikan oleh masyarakat lokal di Sulawesi
Barat.
Orderan untuk tampil sebagai hiburan mungkin dibawah dari orderan seni rebana dan seni sayang-sayang, singkatnya ia hiburan tradisi yang sangat-sangat spesifik, peminatnya mungkin hanya orang tua, dan mereka yang mengerti akan isi cerita sastra serupa toloq yang disampaikan. Sifatnya yang statis menjadi satu hal yang akan sangat "menjemukan" saat menyaksikan pertunjukan Pakkacaping. Kadang tunggal, kadang pula ganda, dimainkan oleh kaum laki-laki serta jarang dimainkan oleh kaum perempuan. Alat musiknya lebih ke instrumen tunggal yang nada-nadanya terbatas lebih cocok untuk menjadi pemain tunggal dibandingkan menjadi pengiring, sehingga jadilah pertunjukan Pakkacaping menjadi mirip konser tunggal.
Pertunjukan Pakkacaping Mandar dengan peqoro (Foto : Sarliana Stalking) |
Kurang lebih sama seperti wayang di Jawa, yang kadang
disaksikan orang-orang hingga larut malam, dengan bahasa Jawa yang
kental diperdengarkan saat pertunjukan maka kurang lebih sama dengan
pertunjukan seni tradisional yang satu ini. Walau menjemukan, masih ada sekelompok masyarakat yang masih menghadirkan pertunjukan Pakkacaping saat kenduri, atau hajatan keluarga.
Pertunjukan Pakkacaping Mandar (Foto : Sarliana Stalking) |
Belum lagi hadirnya peqoro yang jadi bahan untuk mappamaccoq kadang jadi kontroversi yang diasosiasikan dengan kata "saweran". Hal ini yang sangat mengundang perbincangan dari para masyarakat
Leave a Comment