Lontaraq, Artefak Budaya Yang Terabaikan
Perjalanan hidup dan kehidupan manusia tidak pernah lepas dari cerita yang didorong oleh keinginan manusia itu untuk dikenang dan meninggalkan kenangan itu untuk menjadi pelajaran bagi anak keturunannya, meskipun hal ini mungkin disadari setelah zaman memasuki era sejarah namun setidaknya usaha nenek moyang manusia untuk meninggalkan jejak sudah dimulai diera pra sejarah meski melalui simbol, gambar atau bangunan. Dari budaya penyampaian cerita lisan lalu beralih pada penggunaan simbol sederhana, inilah yang kemudian berkembang menjadi sebuah aksara atau tulisan.
Tentu saja pengkajian budaya tulisan tidak semudah membuat "Jepa" (makanan khas mandar), namun melalui proses yang rumit dan melelahkan. Setidaknya begitulah kesimpulan saya setelah membaca resume hasil SEMINAR ANTAR BANGSA “Dialek-dialek Austronesia Di Nusantara III” (Dialek Pribumi Warisan Keterampilan Jati Diri), pada bulan Januari 2008 lalu. “Dimana dalam melakukan penelitian, beberapa ahli menggunakan metode analisis semiotik kultural sebagai piranti analisis karena lebih menekankan perhatian pada aspek lambang-lambang yang merupakan bagian dari kata, istilah, kalimat, paragraf dari teks yang ingin dipertanyakan lebih jauh guna menemukan arti atau makna yang dikandungnya. Makna dari sebuah simbol atau lambang yang digunakan dalam hal ini dimaksudkan sebagai hasil kegiatan sosial dalam sebuah masyarakat sehingga pemahamannya tidak bisa bebas konteks tetapi membutuhkan konteks dari pengguna/pemakai simbol tersebut dalam proses pemaknaannya”.
Tentu saja pengkajian budaya tulisan tidak semudah membuat "Jepa" (makanan khas mandar), namun melalui proses yang rumit dan melelahkan. Setidaknya begitulah kesimpulan saya setelah membaca resume hasil SEMINAR ANTAR BANGSA “Dialek-dialek Austronesia Di Nusantara III” (Dialek Pribumi Warisan Keterampilan Jati Diri), pada bulan Januari 2008 lalu. “Dimana dalam melakukan penelitian, beberapa ahli menggunakan metode analisis semiotik kultural sebagai piranti analisis karena lebih menekankan perhatian pada aspek lambang-lambang yang merupakan bagian dari kata, istilah, kalimat, paragraf dari teks yang ingin dipertanyakan lebih jauh guna menemukan arti atau makna yang dikandungnya. Makna dari sebuah simbol atau lambang yang digunakan dalam hal ini dimaksudkan sebagai hasil kegiatan sosial dalam sebuah masyarakat sehingga pemahamannya tidak bisa bebas konteks tetapi membutuhkan konteks dari pengguna/pemakai simbol tersebut dalam proses pemaknaannya”.
Contoh Penulisan Aksara Lontaraq Foto : Zulfihadi |
Sebuah kebanggaan tersendiri bagi kita suku Mandar yang hidup di jazirah Sulawesi bahwa dari ratusan suku bangsa yang ada di nusantara, ternyata hanya sedikit yang mempunyai budaya tulisan. Bahkan kalau kita amati, beberapa suku yang ada dipulau Celebes tidak mengenal budaya tulis ini seperti halnya Makassar, Bugis dan Mandar. Aksara yang digunakan oleh ketiga suku ini disebut sebagai aksara "Lontaraq" yang didalam penulisan menggunakan bahasa masing-masing.
Jadi orang Makassar menulis aksara Lontaraq dalam bahasa Makassar, Bugis menulis aksara Lontaraq dalam bahasa Bugis dan Mandar pun menulis aksara Lontaraq dalam bahasa Mandar. Menyebutkan kata Lontaraq terkadang merujuk pada jenis aksaranya namun terkadang pula genre pembahasan yang terkandung pada tulisan tersebut, seperti misalnya Lontara Pattodioloang yang meceritakan asal usul manusia Mandar, Lontaraq Sendana, Lontaraq Mandar dll.
Media Daun Lontar
Salah satu contoh gulungan daun lontar yang asli (Foto : Zulfihadi) |
Kata "Lontaraq" sebenarnya mengacu pada bahan utama media penulisan yaitu daun Lontar. Sejenis tanaman palem-paleman yang tumbuh didaerah tropis, mempunyai buah yang bundar dan isinya dapat dimakan dengan rasa yang mirip kelapa muda. Pada permukaan daun inilah ditorehkan aksara dengan menggunakan ujung ijuk enau yang keras dan berbentuk seperti lidi biasanya digunakan sebagai alat bantu penunjuk saat mengaji dan pada orang bugis disebut “kalla”. Setelah aksara ditulis, lalu disapukan dengan kemiri yang telah dibakar hingga menghasilkan tulisan yang berwarna hitam sehingga mudah untuk dibaca.
Awal Mula Penggunaan Aksara Lontaraq
Kapan aksara lontaraq mulai digunakan? ini adalah pertanyaan yang sering terlontar dan menjadi pertentangan diantara mereka yang mementingkan egosentris dan etnosentris.
Menurut sejarah, aksara Lontaraq diperkenalkan oleh Daeng Pamatte dikenal sebagai cerdik cendikia pada zamannya dan beliau pula sempat menggemparkan jagat sains eropa dikarenakan memesan teropong besar dan tiruan bola bumi yang masih menjadi barang langka dan mahal waktu itu sebab masih merupakan temuan yang baru. Beliau menjabat sebagai Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan Gowa. Ketika Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi yang bergelar Karaeng Tumappari’si’ Kallonna, Daeng Pamatte menjabati dua jabatan sekaligus yaitu Sabannarak merangkap Tumailalang (Menteri Urusan Istana dan Dalam Negeri). Pada waktu itu Karaeng Tumappari’si’ Kallonna memberikan titah kepada Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara yang dapat dipakai untuk tulis-menulis.
Pada tahun 1538, Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf Makassar Kuno. Kemudian, aksara "Lontaraq" ini dipermoderen dan bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab. Dalam perkembangan selanjutnya karena ada vocal bugis yang tidak terdapat pada vocal makassar maka ditambahkanlah empat huruf lainnya yaitu NKA, NCA, NPA dan NRA sebagaimana modelnya yang sekarang. (sumber: Sempugi@m.facebook)
Menurut akademisi yang sekaligus budayawan, Prof H. A. Mattulada, (alm) terinspirasi oleh “sulapa eppa wala suji“. Wala suji berasal dari kata wala yang berarti pemisah/pagar/penjaga dan suji berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api, air, angin dan tanah.
Akhirnya aksara ini terus mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga mencapai bentuknya yang sekarang yang berjumlah 23 huruf (termasuk bunyi konsonan dan vokal a) dan disusun berdasarkan aturan tersendiri. Dalam sistem aksara ini, dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae.
Namun, aksara "Lontaraq" tidak mengenal huruf atau lambang untuk mematikan huruf misalnya sa menjadi s. Ketiadaan tanda-mati ini cukup membingungkan bila ingin menuliskan huruf mati. Juga, di banding aksara-aksara lain, aksara Lontara tak memiliki semua fonem. Beberapa huruf ditafsirkan secara teoretis dengan sembilan cara berbeda, dan ini juga kadang-kadang menimbulkan masalah bagi penafsiran pembaca.
Penggunaan aksara lontara ini sendiri pada masyarakat suku Mandar jaman dahulu tertuang dalam penulisan seni sastra dan prosa yang meliputi :
- Pomolitang atau pau-pau losong (dongeng) dengan menggambarkan tingkah laku binatang yang baik dan buruk yang dapat dicontohi oleh manusia, misalnya dongeng I Puccecang annaq I Pulladoq (Kera denagan Pelanduk), di mana kera melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk melaksanakan sifat yang kurang baik.
- Toloq (kissah) menggambarkan liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh dalam masyarakat misalnya kisah Tonisesseq di Tingalor (seorang bidadari jatuh dari kayangan dan ditelan oleh seekor ikan Tingalor).
- Sila-sila (silsilah) menggambarkan suatu kerajaan dan nama-nama rajanya secara turun-temurun, misalnya silsilah raja-raja di Pamboang, Sendana, Banggae dsb.
- Pau-pau pasang atau Pappasang (pesan-pesan luhur) menggambarkan ajaran normal, nasihat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas, misalnya pesan orang tua terhadap anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap pasangan suami isteri, pesan seorang sesepuh kepada warga masyarakat, pesan-pesan raja pada rakyatnya.
- Karangan bentuk puisi disebut juga kalindaqdaq.
- Assitalliang atau perjanjian /traktat.
Akhir tulisan, kembali penulis mengajak pada pembaca sekalian khususnya yang memiliki perhatian pada budaya agar supaya mau melirik kembali aksara ini sebagai sebuah mahakarya dari leluhur kita yang hampir punah. Jika melihat jumlah generasi yang masih bisa membaca dan memahami aksara lontara ini yang dari waktu ke waktu semakin berkurang, jika tidak diambil sebuah tindakan usaha penyelamatan maka niscaya beberapa generasi lagi aksara lontara ini akan menjadi asing dinegerinya sendiri.
Referensi (Sumber Bacaan) :
- Anonim. 2008. Seminar Antar Bangsa "Dialek-Dialek Austronesia di Nusantara III" (Dialek Pribumi Warisan Keterampilan Jati Diri).
- Anonim. Budaya Mandar. Available on http://datastudi.wordpress.com/2008/08/17/budaya-mandar/ (diakses 23 juli 2013)
- Diskusi grup sosial media "Sempugi"
Penulis :
Zulfihadi, saat ini menetap di kec. Wonomulyo Kab. Polewali
Mandar, hobi membaca hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya daerah
serta mengutak-atik komputer, tenaga pendidik di SMK Soeparman Wonomulyo dan aktif sebagai pembina Pramuka di instansi mengajarnya.
Kontak Saya :
Ada ngak pesan leluhur dari mandar yang ada hubungannya dengan tempurung??
ReplyDelete